KEBIJAKAN DIVIDEN
1.
Beberapa Teori
Kebijakan Dividen :
Ø Manajemen mempunyai
2 alternatif perlakuan
terhadap penghasilan bersih
sesudah pajak ( EAT )
perusahaan yaitu :
1.
Dibagi kepada
para pemegang saham
perusahaan dalam bentuk
dividen
2.
Diinvestasikan kembali
ke perusahaan sebagai
laba ditahan ( retaired
earning ).
Pada umumnya
sebagian EAT ( Earning
After Tax ) dibagi
dalam bentuk dividen
dan sebagian lagi
diinvestasikan kembali, artinya
manajemen harus membuat
keputusan tentang besarnya
EAT yang dibagikan
sebagai dividen. Pembuat
keputusan tentang dividen
ini disebut kebijakan
dividen ( dividen policy ).
Ø Persentase dividen yang
dibagi dari EAT
disebut “ Dividend Payout
Ratio “ ( DPR ).
Dividen yang dibagi
DPR =
EAT
Prosentasi laba ditahan dari
EAT adalah 1 – DPR
Ø Ada berbagai
pendapat atau teori
tentang kebijakan dividen
a.l :
a.
Teori “ Dividen
Tidak Relevan “ dari
Modigliani dan Miller,
b.
Teori “ The Bird
in the Hand “
,
c.
Teori Perbedaan
Pajak ,
d.
Teori “
Signaling Hypothesis “ ,
e.
Teori “
Clientele Effect “.
a.
Teori “ Dividen
Tidak Relevan “ dari
Modigliani dan Miller :
Ø Menurut Modigliani dan
Miller (MM) ,
nilai suatu perusahaan
tidak ditentukan oleh
besar kecilnya DPR,
tapi ditentukan oleh
laba bersih sebelum
pajak ( EBIT ) dan
kelas risiko perusahaan.
Jadi menurut MM,
dividen adalah tidak
relevan.
Ø Pernyataan MM ini
didasarkan pada beberapa
asumsi penting yang
“ lemah “ seperti
:
1.
Pasar modal
sempurna dimana semua
investor adalah rasional.
2.
Tida ada
biaya emisi saham
baru jika perusahaan
menerbitkan saham baru.
3.
Tidak ada
pajak
4.
Kebijakan investasi
perusahaan tidak berubah.
Pada praktiknya
:
a). Pasar modal yang
sempurna sulit ditemui ;
b). biaya emisi
saham baru pasti
ada ; c). pajak pasti ada ;
d). kebijakan investasi
perusahaan tidak mungkin
tidak berubah.
Ø Beberapa ahli
menentang pendapatan MM
tentang dividen adalah
tidak relevan dengan
menunjukkan bahwa adanya
biaya emisi saham
baru akan mempengaruhi
nilai perusahaan. Modal
sendiri dapat berasal
dari laba ditahan
dan menerbitkan saham
biasa baru. Jika
modal sendiri berasal
dari laba ditahan,
biaya modal sendiri
sebesar Ks ( Biaya modal
sendiri dari laba
ditahan ). Tapi bila
berasal dari saham
biasa baru, biaya
modal sendiri adalah
Ke ( biaya modal
sendiri dari saham
biasa baru ).
D1
Ks
= + g
D1
Ke
= + g
Ø Beberapa ahli menyoroti
asumsi tidak adanya
pajak. Jika ada pajak
maka penghasilan investor
dari dividen dan
dari capital gains
( kenaikan harga saham )
akan dikenai pajak.
Seandainya tingkat pajak
untuk dividen dan
capital gains adalah
sama, investor cenderung
lebih suka menerima
capital gains dari
pada dividen karena
pajak pada capital
gains baru dibayar
saat saham dijual
dan keuntungan diakui / dinikmati. Dengan
kata lain, investor
lebih untung karena
dapat menunda pembayaran
pajak. Investor lebih
suka bila perusahaan
menetapkan DPR yang
rendah, menginvestasikan kembali
keuntungan dan menaikkan
nilai perusahaan atau
harga saham.
b.
Teori “
The Bird in
the Hand “ :
Ø Gordon dan
Lintner menyatakan bahwa
biaya modal sendiri
perusahaan akan naik
jika DPR rendah
karena investor lebih
suka menerima dividen
dari pada capital
gains. Menurut mereka,
investor memandang dividend
yield lebih pasti
dari pada capital
gains yield. Perlu
diingat bahwa dilihat
dari sisi investor,
biaya modal sendiri
dari laba ditahan
( KS ) adalah tingkat
keuntungan yang disyaratkan
investor pada saham.
KS adalah keuntungan
dari dividen ( dividend
yield ) ditambah keuntungan
dari capital gains ( capital gains
yield ).
Ø Modigliani dan Miller
menganggap bahwa argumen
Gordon dan Lintner
ini merupakan suatu
kesalahan ( MM menggunakan
istilah “ The Bierd
in the hand
Fallacy “ ) . Menurut
MM, pada akhirnya
investor akan kembali
menginvestasikan dividen yang
diterima pada perusahaan
yang sama atau
perusahaan yang memiliki
risiko yang hampir
sama.
c.
Teori Perbedaan
Pajak
Ø Teori ini diajukan
oleh Litzenberger dan Ramaswamy.
Mereka menyatakan bahwa
karena adanya pajak
terhadap keuntungan dividen
dan capital gains,
para investor lebih
menyukai capital gains
karena dapat menunda
pembayaran pajak. Oleh karena
itu investor mensyaratkan suatu
tingkat keuntungan yang
lebih tinggi pada
saham yang memberikan
dividend yield tinggi,
capital gains yield
rendah dari pada
saham dengan dividend
yield rendah, capital
gains yield tinggi.
Jika pajak atas
dividend lebih besar
dari pajak atas
capital gains, perbedaan
ini akan makin
terasa.
Ø Jika manajemen percaya
bahwa teori “ Dividen
tidak relevan “
dari MM adalah
benar, maka perusahaan
tidak perlu memperdulikan
berapa besar dividen
yang harus dibagi,
Jika mereka menganut
teori “ The
Bird in the
Hand “, mereka
harus membagi seluruh
EAT dalam bentuk
dividen. Dan bila
manajemen cenderung mempercayai
teori perbedaan pajak
( Tax Differential Theory ),
mereka harus menahan
seluruh EAT atau
DPR = 0 %. Jadi
ke 3 teori
yang telah dibahas
mewakili kutub – kutub ekstrim
dari teori tentang
kebijakan dividen. Sayangnya test secara
empiris belum memberikan
jawaban yang pasti
tentang teori mana
yang paling benar.
d.
Teori “
Signaling Hypothesis “
Ø Ada bukti empiris
bahwa jika ada
kenaikan dividen, sering
diikuti dengan kenaikan
harga saham. Sebaliknya
pernurunan diveden pada
umumnya menyebabkan harga
saham turun. Fenomena
ini dapat dianggap
sebagai bukti bahwa
para investor lebih
menyukai dividen dari
pada capital gains.
Tapi MM berpendapat
bahwa suatu kenaikan
dividen yang diatas
biasanya merupakan suatu “
sinyal “ kepada para
investor bahwa manajemen
perusahaan meramalkan suatu penghasilan
yang baik diveden
masa mendatang. Sebaliknya,
suatu penurunan dividen
atau keanikan dividen
yang dibawah keanaikan normal ( biasanya ) diyakini
investor sebagai suatu
sinyal bahwa perusahaan
menghadapi masa sulit
diveden waktu mendatang.
Ø Seperti teori dividen
yang lain , teori “
Signaling Hypotesis “
ini juga sulit
dibuktikan secara empiris.
Adalah nyata bahwa
perubahan dividen mengandung
beberapa informasi. Tapi
sulit dikatakan apakah
kenaikan dan penurunan
harga setelah adanya kenaikan dan
penurunan dividen semata-mata
disebabkan oleh efek “
sinyal “ atau disebabkan
karena efek “ sinyal “
dan preferensi terhadap dividen.
e.
Teori “
Clientele Effect “.
Ø Teori ini
menyatakan bahwa kelompok
( clientele ) pemegang
saham yang berbeda
akan memiliki preferensi
yang berbeda terhadap
kebijakan dividen perusahaan.
Ø Kelompok pemegang saham
yang membutuhkan penghasilan
pada saat ini
lebih menyukai suatu
Dividend payout Ratio
yang tinggi. Sebaliknya
kelompok pemegang saham
yang tidak begitu
membutuhkan uang saat ini
lebih senang jika
perusahaan menahan sebagian
besar laba bersih
perusahaan.
Ø Jika ada perbedaan pajak bagi individu
( misalnya orang lanut
usia dikenai pajak
lebih ringan ) maka pemegang
saham yang dikenai
pajak tinggi lebih
menyukai capital gains
karena dapat menunda
pembayaran pajak. Kelompok
ini lebih senang
jika perusahaan membagi
dividen yang kecil.
Sebalinya kelompok pemegang
saham yang dikenai
pajak relatif rendah
cenderung menyukai dividen
yang besar.
Ø Bukti empiris menunjukkan bahwa
efek dari “ Clientele
“ ini ada.
Tapi menurut MM
hal ini tidak
menunjukkan bahwa lebih
baik dari dividen
kecil, demikian s ebaliknya. Efek “
Clientele “ ini hanya
mengatakan bahwa bagi
sekelompok pemegang saham,
kebijakan dividen tertentu
lebih menguntungkan mereka .
2.
Kebijakan Dividen
dalam Praktik
Ø Pada praktiknya
perusahaan cenderung memberikan dividen dengan
jumlah yang relatif
stabil atau meningkat secara
teratur. Kebijakan ini
kemungkinan besar disebabkan
oleh asumsi bahwa
:
a.
Investor melihat
keanaikan dividen sebagai
suatu tanda baik
bahwa perusahaan memiliki prospek cerah, demikian sebaliknya.
Hal ini membuat
perusahaan lebih senang
mengambil jalan aman
yaitu tidak menurunkan
pembayaran dividen ,
b.
Investor cenderung
lebih menyukai dividen
yang tidak berfluktuasi
( dividen yang stabil ).
Ø Menjaga kestabilan
dividen tidak berarti
menjaga Dividend Payout
Ratio tetap stabil karena
jumlah nominal dividen
juga tergantung pada penghasilan bersih perusahaan
( EAT ). Jika DPR
dijaga kestabilannya, misalnya
ditetapkan sebesar 50 %
dari waktu ke
waktu, tetapi EAT
berfluktuasi, maka pembayaran
dividen juga akan
berfluktuasi
Ø Pada umumnya
perusahaan akan menaikkan
dividen hingga suatu tingkatan dimana
mereka yakin dapat
mempertahankannya diveden masa
mendatang. Artinya jika terjadi
kondisi yang terburuk
sekalipun, perusahaan masih
dapat mempertahankan pembayaran
dividen – nya.
Ø Pada
prakteknya ada perusahaan yang
menggunakan model “ residual
dividend “ dimana
dividen ditentukan dengan
cara :
1.
Mempertimbangkan kesempat
investasi perusahaan ;
2.
Mempertimbangkan target
struktur modal perusahaan
untuk menentukan besarnya
modal sendiri yang
dibutuhkan untuk investasi.
3.
Memanfaatkan laba
ditahan untuk memenuhi
kebutuhan akan modal
sendiri tersebut semaksimal
mungkin
4.
Membayar dividen
hanya jika ada
sisa laba.
Dengan demikian,
besarnya dividen bersifat
fluktuatif. Model “ Residual
Dividend “ ini
berkembang karena perusahaan
lebih senang menggunakan
laba ditahan dari pada
menerbitkan saham baru
untuk memenuhi kebutuhan
modal sendiri, alasannya
:
1). Menerbitkan
saham menimbulkan biaya
emisi saham ( flotation cost ) dan
2). Menruut teori
“ signaling hypothesis
“ penerbitan saham
baru sering salah
artikan oleh investor bahwa
perusahaan kesulitan keuangan
sehingga menyebabkan penurunan harga
saham.
Ø Model “ Residual
dividend “ men;yebabkan
dividen bervariasi jika
kesempatan investasi perusahaan
juga bervariasi ( fluktuasi )
, Jika kita
percaya pada teori
“ signaling hypothesis “.
maka model ini
sebaiknya tidak diguanakn
secara kaku untuk
menetapkan besarnya dividen
secara “ year to
year basis “. Model ini
lebih banyak digunakan
sebagai penuntun untuk
menetapkan sasaran payout ratio
jangka panjang yang
memungkinkan perusahaan memenuhi kebutuhan
akan modal sendiri
dengan laba ditahan.
Ø Pada praktiknya,
ada beberapa faktor
lain yang mempengaruhi manajemen dalam
menentukan kebijakan dividen
, a.l
:
1.
Perjanjian Hutang , pada
umumnya perjanjian hutang
antara paerush dengan
kreditor membatasi pembayaran
dividen. Misalnya, dividen
hanya dapat diberikan
jika kewajiban hutang
telah dipenuhi perusahaan
dan atau rasio – rasio
keuangan menunjukkan bank
dalam kondisi sehat.
2.
Pembatasan dari
saham Preferen , tidak
ada pembayaran dividen untuk
saham biasa jika
dividen saham preferan belum
dibayar.
3.
Tersedianya Kas,
Dividen berupa uang
tunai ( cash dividend ) hanya
dapat dibayar jika
tersedianya uang tuani
yang cukup. Jika
likuiditas baik, perusahaan
dapat membayar dividen.
4.
Pengendalian , Jika
manajemen ingin mempertahankan kontrol
terhadap perusahaan, ia
cenderung untuk segan
menjual saham baru
sehingga lebih suka
menahan laba guna
memenuhi kebutuhan dana / baru. Akibatkanya
dividen yang dibayar
menjadi kecil. Faktor
ini menjadi penting
pada perusahaan yang
relatif keci.
5.
Kebutuhan dana
untuk Investasi , Perusahaan
yang berkembang selalu
membutuhkan dana baru untuk diinvestasikan pada
proyek – proyek yang menguntungkan. Sumber
dana baru yang
merupakan modal sendiri ( equity ) dapat
berupa penjualan sham
baru dan laba
ditahan. Manajemen cenderung memanfaatkan
laba ditahan karena
penjualan saham baru
menimbulkan biaya peluncuran
saham ( flotation cost )
. Oleh karena
itu semakin besar
kebutuhan dana investasi,
semakin kecil dividen
payout ratio.
6.
Fluktuasi Laba,
Jika laba perusahaan
dapat membagikan dividen
yang relatif besar
tanpa takut harus menurunkan dividen jika
laba tiba – tiba merosot.
Sebaliknya jika laba
perusahaan berfluktuasi, dividen
sebaiknya kecil agar
kestabilannya terjaga. Selain
itu, perusahaan dengan
laba yang berfluktuasi
sebaiknya tidak banyak menggunakan
hutang guna mengurangi
risiko kebangkrutan. Konsekuensinya laba ditahan
menjadi besar dan
dividen mengecil.
3. Stock Repurchase,
Stock Dividend dan
Stock Split
a.
Stock
Repuchase
Ø Sebagai alternatif
terhadap pemberian dividen
berupa uang tunai
( cash dividen ) , perusahaan
dapat mendistribusikan pendapatan
kepada pemegang saham
dengan cara membeli
kembali saham perusahaan ( repuchasing
stock ).
Ø Harga
stock repurchase pada ekilibrium dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
( S x Pc )
P* =
( S – n )
dimana:
P* : harga stock repurchase equilibrium
S :
jumlah saham beredar sebelum stock repurchase
Pc : harga saham saat ini sebelum stock repurchase
N :
jumlah lembar saham yang akan dibeli kembali oleh perusahaan.
Ø Keuntungan stock
repuchase bagi pemegang
saham :
1)
Stock repuchase
sering di pandang
sebagai tanda positif
bagi investor karena
pada umumnya stock
repuchase dilakukan jika
perusahaan merasa bahwa
saham “ undervalued “.
2)
Stock repuchase
mengurangi jumlah saham
yang beredar dipasar.
Setelah stock repuchase
ada kemungkinan harga
saham naik.
Ø Kerugian bagi
pemegang saham :
1). Perusahaan
membeli kembali saham
dengan harga yang
terlalu tinggi sehingga
merugikan pemegang saham
yang tidak menjual
kembali sahamnya.
2). Keuntungan
stock repuchase dalam bentuk
capital gains, padahal
sebagian investor menyukai
dividen.
Ø Keuntungan bagi
perusahaan :
1). Menghindari kenaikan dividen. Jika
dividen naik terlalu
tinggi dikhawatirkan di
masa mendatang perusahaan
terpaksa membagi dividen
yang lebih kecil ( pada
masa sulit atau
banyak kebutuhan dana
investasi ) yang dapat
memberi petanda negatif.
Stoc repuchase merupakan
alternatif yang baik
untuk mendistribusikan penhasilan yang diatas
normal ( extraordinary earnings )
kepada pemegang saham.
2). Dapat
digunakan sebagai strategi
untuk mengacau usaha
pengambil – alihan perusahaan (
yang biasanya dilakukan dengan
cara membeli saham sebanyak –b anyaknya hingga
mencapai jumlah saham
mayoritas ) Stock repuchase
dapat menggalkan usaha
ini.
3). Mengubah
struktur modal perusahaan.
Misalnya, perusahaan ingin
meningkatkan rasio hutang
dengan cara menggunakan
hutang baru untuk
membeli kembali saham
yang beredar.
4). Saham
yang ditarik kembali
dapat dijual kembali
ke pasar jika
perusahaan membutuhkan tambahan
dana.
Ø Kerugian bagi
perusahaan adalah :
1). Dapat
merusak image perusahaan
karena sebagian investor
merasa bahwa stock
repuchase merupakan indikator
bahwa manajemen perusahaan
tidak mempunyai proyek – proyek baru
yang baik. Namun
demikian, jika perusahaan
benar – benar tidak memiliki
kesempatan investasi yug
baik, ia memang
sebaiknya mendistribusikan dana
kembali kepada pemegang
saham. Tidak banyak
bukti empiris yang mendukung
alasan ini.
2)
Setelah stock
repuchase, pasar mungkin
merasa bahwa risiko
perusahaan meningkat sehingga
dapat menurunkan harga
saham.
Ø Jika harus
memilih antara stock
repuchase dan pembayaran dividen tunai,
pada pasar yang
sempurna ( dimana tidak ada
pajak , biaya komisi untuk
jual – beli saham dan
efek sinyal dari
pemberian dividen ), investor akan indifferent terhadap
ke 2 pilihan.
Pada pasar yang
tidak sempurna, investor mungkin akan memiliki
preferensi terhadap salah satu
dari ke 2 alternatif
tersebut.
Ø Ada 3 metode yang dapat
digunakan untuk membeli
kembali saham :
1.
Saham dapat
dibeli pada pasar
terbuka ( open market )
2.
Perusahaan membuat penawaran formal untuk membeli saham
perusahaan dalam jumlah tertentu
dan harga tertentu
( pendekatan tender offer )
3.
Perusahaan membeli
sejumlah sahamnya kembali
dari satu atau
beberapa pemegang saham
besar ( pendekatan
negotiated basis )
b.
Stock
Split dan Stock
Dividend
Ø Stock split
adalah tindakan perusahaan
memecah saham yang
beredar menjadi bagian
yang lebih kecil.
Stock dividend adalah
tindakan perusahaan memberikan
saham baru sebagai
pembayaran dividen .
Ø Bagi pemegang
saham stock split
tidak membuat mereka
bertambah kekayaannya karena
kenaikan jumlah saham diimbangi
dengan penurunan nilai
saham . Stock dividend
juga tidak menambah
kekayaan pemegang saham.
Ø Jika tidak
ada keuntungan secara
ekonomis mengapa perusahaan
melakukan stock split
dan Stock dividend
:
1.
Stock split
dilakukan untuk menjaga
agar harga saham
tetap berada pada
optimal price range.
Harga saham yang
tinggi akan menyulitkan investor untuk
membeli saham tersebut
sehingga dapat menurunkan
permintaan.
2.
Stock dividend
digunakan perusahaan yang ingin
menghemat kas atau
perusahaan dalam kesulitan keuangan.
Masalah yang muncul
jika perusahaan tidak membagi
dividen tunai investor
bisa salah persepsi
terhadap emiten. Akibatnya
harga saham bisa
turun, sehingga untuk
menghindari efek negatif
ini perusahaan dapat
membagi stock dividen
sebagai pengganti dividen
kas.
Ø Meskipun stock
split dan stock
dividen tidak berbeda secara
pertimbangan ekonomis tapi perlakuan akuntansinya
berbeda. Untuk stock
dividen perusahaan harus
melakukan kapitalisasi nilai
pasar dari stock
dividen dengan cara
mentransfer sejumlah rupiah
dari stock dividen ke
rekening modal.
Contoh Soal
PT. Inti
selama 10 tahun
terakhir mengalami perkembangan
yang cukup baik. Namun
demikian penjualan dan
pendapatan saat ini
mengalami penurunan akibat krisis
ekonomi. Rata – rata EPS
dimasa lalu adalah
Rp. 500,- per
saham dan dividen
pay out ratio sekitar
40 % .
Saat ini harga
jual saham sebesar
Rp. 2500,-. Pendapatan
per saham pada
akhir tahun 1993
turun menjadi Rp.
300,- per lembar.
Penurunan ini dianggap
bersifat sementara shg dividen tetap
dibagikan sebesar Rp.
200,-. Jumlah saham
yang beredar 1
juta lembar. Informasi
baru telah mengubah
penilaian terhadap prospek pendapatan
untuk tahun 1994.
Sekarang diyakini bahwa
pendapatan akan menurun
menjadi Rp. 150,-
per saham dan
naik menjadi Rp.
160,- per lembar
untuk tahun 1995.
Manajemen sedang mempertimbangkan untuk
mempertahankan dividen sebesar
Rp. 200,- untuk
tahun 1994 dan
1995. Neraca perusahaan
adalah sbb :
Neraca
31
Desember 1993
( dalam jutaan rupiah )
Kas
|
100
|
Hutang dagang
|
200
|
Persediaan
|
400
|
Hutang
|
250
|
Piutang
|
500
|
Jumlah hutang
lancar
|
450
|
Jumlah Aktiva
lancar
|
1.000
|
Hutang jangka
panjang
|
480
|
Total Aktiva
tetap
|
1.000
|
Saham biasa ,
nom Rp. 1.000,-
|
1.000
|
Laba ditahan
|
70
|
||
Total Aktiva
|
2.000
|
Total Pasiva
|
2.000
|
Diminta
a.
Apakah mungkin
perusahaan mempertahankan dividen
sebesar Rp. 200,-
per saham
b.
Dapatkah perusahaan
mengganti dividen berupa
kas dengan 10
% stock dividend
c.
Tindakan mana
yang anda rekomendasikan